MANUFER CINTA
Panggung Putih, 3 maret 2006.
10.30
Pertarungan hati rumit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Biar
bagaimana pun hebatnya seorang maestro kata tidak akan mampu mewujudkan dilema
hati ketika dilanda cinta. Lihatlah betapa banyak bajingan dalam waktu beberapa
detik berubah menjadi malaikat dihadapan orang yang dicintai. Cinta memang
hebat; hipnotisnya mampu merusak karakter seseorang dalam waktu sekejap.
Genggaman jari jemarinya melumpuhkan insan-insan perkasa, insan-insan kuat,
insan-insan yang merasa diri hebat.
“Cinta”
Ragil mengelus dada di samping Anita yang dari tadi hanya menikmati
kebisuannya. Debu-debu sisa kaki kerumunan mengepul diantara dua insan yang
dilanda kasmaran. Riuh tidak terlintas ditenga mereka berdua. Hanya kebisuan
yang mereka nikmati tanpa henti, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari
mulut mereka. Malu-malu kucing kata orang, malu-malu tapi mau. Suara bising
dari pertunjukan tidak dapat mengoyahkan pertarungan hati mereka masing-masing.
Ragil bertarung melawan hasratnya untuk memiliki Anita sutuhnya sedang Anita
bertarung sendiri dalam kebingungannya merangkai kata-kata yang tepat untuk
menjawab cinta dari Ragil.
“Ada apa dengan cinta”
Cinta remaja labil, cinta kecil di samping panggung putih. Wajah merah
merona masih melekat diwajah Anita menghiasi tepat pukul 11 malam. Ragil
semakin tak tenang hanyut dalam perasaan gila yang dia hadapi sendiri. Ribuan
kerumunan lalulalang tidak mematahkan benak mereka menikmati karakter terbodoh
yang baru kali ini mereka rasakan. Tatapan mata dua sejoli itu beradu memecah
remang-remang malam pojok panggung. Seperti biasa Anita tersenyum lalu dengan
tingkah manjanya menyerah kalah dari arena pertarungan empat bola mata. Hasrat
hati Ragil dapat menggengam cinta Anita sudah terlalu membeludak. Ingin rasanya
Ragil duduk lebih dekat namun hati melarang.
“Ini masalah adab brow; jaga dong. Besikaplah lebih baik dari pada kau
didepak? Musnah deh harapan kamu” ujar hatinya mengingatkan
Cowok bandel plus agresif jatuh cinta beginilah jadinya. Hati Ragil dag
dig dug layaknya gendrang perang. Wajah tampan yang menjadi modal utamanya
malam ini takluk dihadapan Anita. Aneh memang sosok play boy harus tersungkur
dalam permainan cinta.
“Ini memang gila” keluh Ragil
Tidak ada gunanya Ragil berjuang berbulan-bulan hanya untuk membuat
lakon buruk malam ini. Seharusnya malam ini adalah malam yang teromantis yang
sulit untuk dilupakan Anita tapi mengapa harus seperti ini seperti pantung
perempatan pancuran yang hanya bisa berdiri tanpan bisa berbuat apa-apa. Ragil
seperti terjebak dalam dilema hati yang teramat pelik. Baru kali ini Ragil
bersifat apatis di depan kaum hawa, sosok tampan percaya diri sudah dia
kantongi, sejuta pengalaman menaklukkan kaum hawa sarak dalam benaknya namun
mengapa tiba-tiba semua itu memudar dan lenyap seketika oleh senyum tipis Anita.
“Ada apa gerangan dengan diri ku?”
Mungkinkah tuhan telah mencabut semuanya dari diri Ragil. Cinta memang
harus di ungkapkan apa adanya. Cinta bukan permainan pimpong atau permainan
kata tapi cinta adalah rasa. Cowok sehebat Ragil pun tidak mampu melawan
kehebatan cinta; dahsyat. Hipnotisnya ampuh, tawaran rasanya berbeda dari semua
rasa. Bayangkan, cowok seplay boy Ragil tidak mampu berbuat banyak, walaupun sebelumnya
Ragil terkenal dengan agresifnya di depan gadis-gadis kampus. Terbukti dari
beberapa manufernya banyak cewek tidak berkutik ketika Ragil sudah mengeluarkan
jururs-jurus mautnya. Namun malam ini Ragil harus mengakui jikalau Anita beda
dari semua cewek yang pernah dia dekati. Sosok Anita yang lembut, murah senyum,
pantang takluk rayuan dan sangat pendiam membuat Ragil harus ekstra keras untuk
berjuang.
Halaman panggung semakin sesak, banyak orang datang dari dua gerbang
besar yang telah disiapkan panitian pertunjukan. Ribuan orang terpukau melihat
pertunjukan yang dipertontonkan namun berbeda dengan Ragil, dia seperti cacing
kepanasan disamping panggung, bertingkah tidak karuan, ngoceh-ngoceh sendiri
tidak ubahnya seperti orang gila yang sudah kehabisan obat.
“Dasar manusia, kalau sudah dilanda cinta tingkah mereka sedikit gila”
ujar gelap mengejek Ragil dari sela-sela pagar belakang panggung
Malam sudah semakin larut, pertunjukan semakin menarik bagi penonton
namun tidak sedikitpun menarik bagi dua insan disamping panggung. Ragil dan Anita masih larut dalam kegilaan mereka. Gila
karena cinta pertama sedang hinggap diranting-ranting hati mereka. Ragil
semakin merasa gerah, tidak sanggup lagi menahan hasrat cinta yang dia rasakan.
Dia tidak sanggup lagi menunggu dan terus menunggu jawaban cinta yang dia
pernah lontarkan kepada Anita tiga hari yang lalu. Dia mulai memberanikan diri
memancing agar Anita menjawab cintanya, namun lagi-lagi senyuman yang Anita
lontarkan tanpa mau berkata-kata. Entah apa maksud Anita Ragil semakin bingung.
Ragil tidak peduli dengan senyuman ambigu Anita.
Ragil tidak peduli; dia terus memberondong Anita dengan kata-kata.
Wajah cantik dibalik jilbab hitam itu hanya menundukkan kepala dan tersenyum
menghadap jari-jemarinya sendiri yang dari tadi memegang benda-benda kecil
tepat di bawah tempat duduknya. Ragil kehabisan akal, taktiknya tidak ampuh
menaklukan hati kaum hawa yang satu ini. Asap rokok tidak henti-henti mengepul
dari sela-sela bibirnya. Setengah bungkus rokok sudah menjadi korban kegalauan
hatinya. Entah diterima cintanya atau sebaliknya ditolak, kepastian itulah yang
membuat Ragil terkurung dalam kebingungan yang teramat besar.
Cinta memang dilema; bikin kesal, sakit hati, tersenyum, menangis,
gelisah, atau bahkan membuat tensi darah meninggi dan memunculkan kemarahan, rasa
sesak di dada. Walau bagaimanapun Ragil tidak pernah patah semangat dengan
berbagai cara dia lancarkan untuk menembus pertahanan Anita yang dia bungkus
dengan bahasa senyuman. Berbagai manufer-manufer hebat Ragil luncurkan dengan
daya dahsyat yang keluar dari hatinya. Namun pertahan kuat Anita kembali
menjadi ujian Ragil hingga manufer-manufernya pun patah terbuang begitu saja.
Hanya bahasa diam itulah yang dibenci oleh Ragil, dia tidak bisa
melancarkan serangan sebagaimana biasanya. Lagi-lagi Ragil menghentikan
serangannya dan kembali mengikuti Anita yang manis bertahan dalam bahasa senyum
dan bahasa diam. Kembali kebisuan menyelimuti dua anak remaja dibalik panggung
pertunjukan besar. Panggung putih saksi bisu dari bahasa diam cinta kasih dua
anak manusia.
“Magic...magic...love is magic”
Ragil melepaskan tubuh kurusnya disebuah tiang kecil, menggaruk kepala
dengan kesepuluh jarinya. Entah dia terserang kitombe atau tidak pernah memakai
sampo sebelum berangkat entahlah. tapi kelihatan dari wajahnya dia resah dan
dan bingung dengan apa yang melandanya di samping panggung. Biarpun resah masih
Ragil tunjukkan namun otaknya kembali mencoba dia putar dengan cepat. Agar
jangan sampai apa yang sudah menjadi rencana besarnya sia-sia begitu saja. Kini
saatnya terlihat sang play boy takluk dalam bahasa bisu seorang hawa.
kamar mandi 3 maret 2006.
11.30
Buk-buk-buk suara tembok terdengar tak henti-henti. Tangan Ragil terus
memukul-mukul tembok tempat pelampiasan kekesalannya. Dia bingung harus bersikap
aneh malam itu. Paly boy sekaliber ragil tidak sepantasnya takluk di depan
cewek pendiam seperti Anita. Sungguh malam yang sangat mengecewakan bagi ragil.
Cinta yang dahulu sering dia ludahi dengan sikap play boynya kini
mempermainkannya seperti anak SD yang masih awam dengan cinta. Sesekali ragil
membasuh wajahnya kemudian menatap dirinya di cermin.
“kamu kelihatan semakin bodoh” keluhnya berkali-kali
Bingkisan kekesalan semakin menjamur dalam dirinya. Membungkam sikap
arogannya yang dulu pernah dia lakoni. Seiring dengan serbuan kekesalannya,
ragil terdiam sejenak. Ada yang berberda dalam dirinya sebuah permainan cinta
yang dia rasakan. Namun permainan itu tidak sedikit pun berpihak kepadanya
karena samapai saat inipun anita masih kuat dalam bahasa diamnya. Cinta memang
bukan sekdar kata-kata bodoh atau syair-syair indah yang mereka banggakan.
Namun cinta adalah teka-teki yang rumit bahkan lebih rumit dari rumus
matematika. Kata orang wanita dapat takluk dalam sekejap dengan kata-kata namun
kenyataannya tidak seperti itu. Jika cinta sudah berbicara kata-kata akan
terhenti dan hatilah yang menentukan semuanya.
“dasar bodoh, bodoh, bodoh” teriak ragil seraya menatap benci pantulan
wajahnya dicermin
Jalan raya 12.30