Rabu, 17 April 2013

Kata - Kata Mutiara


MANUFER CINTA
Panggung Putih, 3 maret 2006. 10.30
Pertarungan hati rumit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Biar bagaimana pun hebatnya seorang maestro kata tidak akan mampu mewujudkan dilema hati ketika dilanda cinta. Lihatlah betapa banyak bajingan dalam waktu beberapa detik berubah menjadi malaikat dihadapan orang yang dicintai. Cinta memang hebat; hipnotisnya mampu merusak karakter seseorang dalam waktu sekejap. Genggaman jari jemarinya melumpuhkan insan-insan perkasa, insan-insan kuat, insan-insan yang merasa diri hebat.
“Cinta”
Ragil mengelus dada di samping Anita yang dari tadi hanya menikmati kebisuannya. Debu-debu sisa kaki kerumunan mengepul diantara dua insan yang dilanda kasmaran. Riuh tidak terlintas ditenga mereka berdua. Hanya kebisuan yang mereka nikmati tanpa henti, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Malu-malu kucing kata orang, malu-malu tapi mau. Suara bising dari pertunjukan tidak dapat mengoyahkan pertarungan hati mereka masing-masing. Ragil bertarung melawan hasratnya untuk memiliki Anita sutuhnya sedang Anita bertarung sendiri dalam kebingungannya merangkai kata-kata yang tepat untuk menjawab cinta dari Ragil.
“Ada apa dengan cinta”
Cinta remaja labil, cinta kecil di samping panggung putih. Wajah merah merona masih melekat diwajah Anita menghiasi tepat pukul 11 malam. Ragil semakin tak tenang hanyut dalam perasaan gila yang dia hadapi sendiri. Ribuan kerumunan lalulalang tidak mematahkan benak mereka menikmati karakter terbodoh yang baru kali ini mereka rasakan. Tatapan mata dua sejoli itu beradu memecah remang-remang malam pojok panggung. Seperti biasa Anita tersenyum lalu dengan tingkah manjanya menyerah kalah dari arena pertarungan empat bola mata. Hasrat hati Ragil dapat menggengam cinta Anita sudah terlalu membeludak. Ingin rasanya Ragil duduk lebih dekat namun hati melarang.
“Ini masalah adab brow; jaga dong. Besikaplah lebih baik dari pada kau didepak? Musnah deh harapan kamu” ujar hatinya mengingatkan
Cowok bandel plus agresif jatuh cinta beginilah jadinya. Hati Ragil dag dig dug layaknya gendrang perang. Wajah tampan yang menjadi modal utamanya malam ini takluk dihadapan Anita. Aneh memang sosok play boy harus tersungkur dalam permainan cinta.
“Ini memang gila” keluh Ragil
Tidak ada gunanya Ragil berjuang berbulan-bulan hanya untuk membuat lakon buruk malam ini. Seharusnya malam ini adalah malam yang teromantis yang sulit untuk dilupakan Anita tapi mengapa harus seperti ini seperti pantung perempatan pancuran yang hanya bisa berdiri tanpan bisa berbuat apa-apa. Ragil seperti terjebak dalam dilema hati yang teramat pelik. Baru kali ini Ragil bersifat apatis di depan kaum hawa, sosok tampan percaya diri sudah dia kantongi, sejuta pengalaman menaklukkan kaum hawa sarak dalam benaknya namun mengapa tiba-tiba semua itu memudar dan lenyap seketika oleh senyum tipis Anita.
“Ada apa gerangan dengan diri ku?”
Mungkinkah tuhan telah mencabut semuanya dari diri Ragil. Cinta memang harus di ungkapkan apa adanya. Cinta bukan permainan pimpong atau permainan kata tapi cinta adalah rasa. Cowok sehebat Ragil pun tidak mampu melawan kehebatan cinta; dahsyat. Hipnotisnya ampuh, tawaran rasanya berbeda dari semua rasa. Bayangkan, cowok seplay boy Ragil tidak mampu berbuat banyak, walaupun sebelumnya Ragil terkenal dengan agresifnya di depan gadis-gadis kampus. Terbukti dari beberapa manufernya banyak cewek tidak berkutik ketika Ragil sudah mengeluarkan jururs-jurus mautnya. Namun malam ini Ragil harus mengakui jikalau Anita beda dari semua cewek yang pernah dia dekati. Sosok Anita yang lembut, murah senyum, pantang takluk rayuan dan sangat pendiam membuat Ragil harus ekstra keras untuk berjuang.
Halaman panggung semakin sesak, banyak orang datang dari dua gerbang besar yang telah disiapkan panitian pertunjukan. Ribuan orang terpukau melihat pertunjukan yang dipertontonkan namun berbeda dengan Ragil, dia seperti cacing kepanasan disamping panggung, bertingkah tidak karuan, ngoceh-ngoceh sendiri tidak ubahnya seperti orang gila yang sudah kehabisan obat.
“Dasar manusia, kalau sudah dilanda cinta tingkah mereka sedikit gila” ujar gelap mengejek Ragil dari sela-sela pagar belakang panggung
Malam sudah semakin larut, pertunjukan semakin menarik bagi penonton namun tidak sedikitpun menarik bagi dua insan disamping panggung. Ragil  dan Anita masih larut dalam kegilaan mereka. Gila karena cinta pertama sedang hinggap diranting-ranting hati mereka. Ragil semakin merasa gerah, tidak sanggup lagi menahan hasrat cinta yang dia rasakan. Dia tidak sanggup lagi menunggu dan terus menunggu jawaban cinta yang dia pernah lontarkan kepada Anita tiga hari yang lalu. Dia mulai memberanikan diri memancing agar Anita menjawab cintanya, namun lagi-lagi senyuman yang Anita lontarkan tanpa mau berkata-kata. Entah apa maksud Anita Ragil semakin bingung. Ragil tidak peduli dengan senyuman ambigu Anita.
Ragil tidak peduli; dia terus memberondong Anita dengan kata-kata. Wajah cantik dibalik jilbab hitam itu hanya menundukkan kepala dan tersenyum menghadap jari-jemarinya sendiri yang dari tadi memegang benda-benda kecil tepat di bawah tempat duduknya. Ragil kehabisan akal, taktiknya tidak ampuh menaklukan hati kaum hawa yang satu ini. Asap rokok tidak henti-henti mengepul dari sela-sela bibirnya. Setengah bungkus rokok sudah menjadi korban kegalauan hatinya. Entah diterima cintanya atau sebaliknya ditolak, kepastian itulah yang membuat Ragil terkurung dalam kebingungan yang teramat besar.
Cinta memang dilema; bikin kesal, sakit hati, tersenyum, menangis, gelisah, atau bahkan membuat tensi darah meninggi dan memunculkan kemarahan, rasa sesak di dada. Walau bagaimanapun Ragil tidak pernah patah semangat dengan berbagai cara dia lancarkan untuk menembus pertahanan Anita yang dia bungkus dengan bahasa senyuman. Berbagai manufer-manufer hebat Ragil luncurkan dengan daya dahsyat yang keluar dari hatinya. Namun pertahan kuat Anita kembali menjadi ujian Ragil hingga manufer-manufernya pun patah terbuang begitu saja.
Hanya bahasa diam itulah yang dibenci oleh Ragil, dia tidak bisa melancarkan serangan sebagaimana biasanya. Lagi-lagi Ragil menghentikan serangannya dan kembali mengikuti Anita yang manis bertahan dalam bahasa senyum dan bahasa diam. Kembali kebisuan menyelimuti dua anak remaja dibalik panggung pertunjukan besar. Panggung putih saksi bisu dari bahasa diam cinta kasih dua anak manusia.
“Magic...magic...love is magic”
Ragil melepaskan tubuh kurusnya disebuah tiang kecil, menggaruk kepala dengan kesepuluh jarinya. Entah dia terserang kitombe atau tidak pernah memakai sampo sebelum berangkat entahlah. tapi kelihatan dari wajahnya dia resah dan dan bingung dengan apa yang melandanya di samping panggung. Biarpun resah masih Ragil tunjukkan namun otaknya kembali mencoba dia putar dengan cepat. Agar jangan sampai apa yang sudah menjadi rencana besarnya sia-sia begitu saja. Kini saatnya terlihat sang play boy takluk dalam bahasa bisu seorang hawa.

kamar mandi 3 maret 2006. 11.30
Buk-buk-buk suara tembok terdengar tak henti-henti. Tangan Ragil terus memukul-mukul tembok tempat pelampiasan kekesalannya. Dia bingung harus bersikap aneh malam itu. Paly boy sekaliber ragil tidak sepantasnya takluk di depan cewek pendiam seperti Anita. Sungguh malam yang sangat mengecewakan bagi ragil. Cinta yang dahulu sering dia ludahi dengan sikap play boynya kini mempermainkannya seperti anak SD yang masih awam dengan cinta. Sesekali ragil membasuh wajahnya kemudian menatap dirinya di cermin.
“kamu kelihatan semakin bodoh” keluhnya berkali-kali
Bingkisan kekesalan semakin menjamur dalam dirinya. Membungkam sikap arogannya yang dulu pernah dia lakoni. Seiring dengan serbuan kekesalannya, ragil terdiam sejenak. Ada yang berberda dalam dirinya sebuah permainan cinta yang dia rasakan. Namun permainan itu tidak sedikit pun berpihak kepadanya karena samapai saat inipun anita masih kuat dalam bahasa diamnya. Cinta memang bukan sekdar kata-kata bodoh atau syair-syair indah yang mereka banggakan. Namun cinta adalah teka-teki yang rumit bahkan lebih rumit dari rumus matematika. Kata orang wanita dapat takluk dalam sekejap dengan kata-kata namun kenyataannya tidak seperti itu. Jika cinta sudah berbicara kata-kata akan terhenti dan hatilah yang menentukan semuanya.
“dasar bodoh, bodoh, bodoh” teriak ragil seraya menatap benci pantulan wajahnya dicermin
Jalan raya 12.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar